Buah Gowok, Masih Adakah?
GOWOK!
Entah mengapa salah satu jenis buah-buahan ini mempunyai nama yang unik
tetapi sangat tidak “seksi” dan “nyentrik” layaknya buah-buahan lain
yang lebih marketable memenuhi etalase pasar buah. Menurut catatan dalam wikipedia, tanaman gowok ini termasuk anggota suku jambu-jambuan atau Myrtaceae yang berasal dari Indonesia, khususnya Jawa dan Kalimantan. Nama buah ini menurut orang Betawi disebut gohok, orang Sunda menyebutnya kupa atau kupa beunyeur sedangkan di Jawa disebut gowok dan dompyong. Di kampung saya sendiri dikenal dengan buah gowok.
Bagi
saya, buah ini mengingatkan pada masa sekolah dasar. Di depan SD di
kampung saya dulu, masih saya temui penjual buah ini yang menggelar
dagangannya di depan sekolah setiap jam istirahat tiba, selain itu
mereka juga menjual dengan cara di-ider-kan
(dikelilingkan) dari rumah ke rumah. Selain itu, kawan-kawan saya yang
rumahnya persis di kaki gunung seringkali kalau ke sekolah membawa
buah-buahan ini.
Maklum
saja, menurut berbagai literatur, buah ini akan tumbuh dengan baik baik
jika berada pada ketinggian 1000-1800 meter dari permukaan air laut,
meskipun bisa juga tumbuh pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Itulah
mengapa teman-teman SD saya yang berada pada ketinggian itu, tepatnya
persis di kaki Gunung Anjasmoro, sering membawa ke sekolah buah gowok
hasil dari pekarangannya. Umumnya tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan dan sebagian ada yang ditanam di kebun atau pekarangan.
Dulu
di kawasan pegunungan Anjasmoro —salah satu kawasan di Jombang selatan
yang pernah di-“obok-obok” naturalis asal British, Alfred Russel
Wallace, yang terkenal dengan garis imajinernya, ketika melancong ke Jombang
pada tahun 1861 untuk mengumpulkan spisemen burung merak dan
mengunjungi kebun-kebun kopi—, pohon gowok ini tumbuh subur dan
berlimpah jumlahnya. Umumnya menjadi bagian dari tanaman pekarangan atau
tumpangsari dengan tanaman kopi. Secara fisik ketinggian batangnya bisa
mencapai belasan meter, buahnya
berbentuk bulat sebesar jempol kaki orang dewasa dengan kulit buah yang
sudah tua berwarna ungu kehitam-hitaman dan rasanya manis agak asam.
Pada
tahun 1990-an, buah ini sangat terkenal di kampung saya. Mungkin karena
dulu belum banyak pilhan buah dan atau tingkat ekonomi dan selera
masyarakat yang relative monoton, menyebabkan buah ini menjadi salah
satu pilihan utama. Namun sekarang saya sulit bahkan tak menemukan lagi.
Termasuk penjualnya yang dulu dalam ingatan saya, menggendong bokor
dari anyaman bambu. Sementara itu penjual buah di kampung saya saat ini
juga lebih tertarik menjual buah yang dianggap eksotik dan bernilai
ekonomi tinggi seperti durian yang memang menjadi salah satu andalan
produk lokal kampung saya —durian
bido adalah varietas endemik di kampung saya dan telah ditetapkan oleh
pemerintah sebagai Varietas Unggul yang ditandai dengan dikeluarkannya
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 340/Kpts/SR.120/5/2006.
Beberapa
waktu lalu, saya juga menjumpai para penjual buah di pinggir jalan
kampung mulai menjual buah-buahan impor, buah-buahan yang juga
membanjiri toko-toko buah di kota-kota besar, buah yang dianggap unggul
segalanya, termasuk unggul tingkat keawetannya. Entah teknik pertanian
macam apa yang bisa menghasilkan produk buah-buahan dengan tingkat
keawetan seperti itu. Dengan demikian, lengkap sudah ketersisihan buah
gowok ini. Buah yang pernah menjadi andalan jajanan saya waktu SD dulu.
Buah gowok, masih adakah di tempat Anda?
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/22/buah-gowok-masih-adakah-343555.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar