A. Aktivitas Antibakteri
Banyak peneliti mempelajari aktivitas
propolis sebagai anti bakteri dan ekstrak propolis dalam melawan
stran-strain bakteri baik yang Gram-positive atau
Gram-negative dan mendapatkan hasil bahwa propolis memiliki
aktivitas anti bakteri yang sangat luas terhadap strain
Gram-positive
tetapi terbatas dalam melawan bakteri-bekteri bacilli Gram-negative
(Vokhonina et al., 1969, Akopyan at al., 1970; Grecianu dan
Enciu, 1976).
Ugur dan Arslan (2004) meneliti aktivitas
antibakteri dan antijamur ekstrak acetone dan dimethyl sulfoksida
(DMSO) dari 45 sample propolis dari provinsi Mugla Turki.
Mereka menemukan bahwa
aktivitas antimicrobial propolis berbeda-beda bergantung pada sample,
dosis dan pelarut ekstraknya. Aktivitas
antimicrobial
propolis meningkat
berbanding lurus dengan dosis dan tanpa mencapai fase plateau
(mendatar) pada dosis tertinggi yang diuji. Kecuali untuk
Brucella
melitensis, ekstrak DMSO dari semua sample propolis lebih
efektif dibandingkan dengan ekstrak acetone-nya. Untuk B melitensis
ekstrak
acetone lebih efektif. Mikroorganisme yang paling peka terhadap
propolis adalah
Shigella sonnei
(penyebab disentri
shigellosis)
yang tergolong grup
Gram-negative dan
Streptococcus mutans
(penyebab
kerusakan gigi
atau caries) dari
grup Gram-positive. Dibandingkan dengan antibiotik standard, propolis asal
Mugla mempunyai efek penghambatan yang sama atau lebih tinggi terhadap
proliferasi S. mutans,
Salmonella
thypi (penyebab
salmonellosis:
typhus dan parathypus),
Pseudomonas
aeruginosa
dan S. sonnei.
Ekstrak alkoholik propolis
dikumpulkan dari 18 wilayah Rusia.
Ekstrak-ekstrak itu kemudian secara
berseri dilarutkan dalam agar di cawan petri. Petri-petri kemudian
diinokulasi dengan bakteri-bakteri:
Bacillus cereus,
Staphylococcus
aureus,
Escherichia
coli
dan
Pseudomonas aeruginosa,
dan cendawan
Candida
albicans (penyebab
candidiasis)
kemudian diinkubasikan
pada 370C atau 20-250C selama 48 jam. Propolis
pada konsentrasi 125 – 500 ppm menghambat pertumbuhan B.
cereus, dan S. aureus, tetapi umumnya tidak mempengaruhi
dua bakteri yang lain atau cendawan, meskipun konsentrasinya
ditingkatkan menjadi 1000 ppm (Shub et al., 1978).
Hubungan antara ekstrak alam
larutan polifenol-alkohol dari propolis
(AEP) dan aktivitas mikrobialnya
dalam
melawan Bacillus cereus sudah
dicatat.
Dalam 91 uji dengan kandungan polifenol tinggi
(59%
atau lebih) berasosiasi dengan aktivitas antimikrobialnya
(Malimon et al., 1980). Dengan hewan uji ayam, propolis efektif
mengatasi
S. aureus dan S. epidermidis secara in vitro (Glinnik dan
Gapanovich, 1981). Seratus enam strain S. aureus telah diuji,
kesemuanya peka terhadap 0.5 – 1.0 mg/ml propolis. Strain yang
resisten terhadap benzyl-penisillin, tetracycline dan erythromycin
juga sensitive terhadap propolis. Propolis memiliki efek sinergis
ketika dikombinasikan dengan ketiga macam
antibiotik tersebut dalam
melawan strain-strain
yang tahan terhadap ketiganya (Shub, 1981).
Penghambatan pertumbuhan dari
lima spesies mycobacterium bersifat proposional dengan konsentrasi
flavonoid dalam propolis. Strain
Mycobacterium
sp. 279 adalah yang paling sensitive terhadap flavonoid propolis dan
oleh karena itu sangat berguna menjadi pembanding dalam uji
komparative. Konsentrasi terendah yang masih efektif terhadap strain
ini adalah 0.00996 mg/ml (Jozwik dan Trytek, 1985). Sensitivitas dari
75 strain bakteri terhadap propolis pernah diuji. Enam puluh sembilan
diantaranya diisolasi dari sapi dengan mastitis dan
teridentifikasi sebagai Staphylococcus spp. dan
Streptococcus spp. Semua strain yang diuji menunjukkan
sensitivitas sangat tinggi terhadap ekstrak propolis, umumnya sama
atau lebih sensitif dibandingkan dengan strain pembanding
Staphylococcus aureus 209P (Oxford) (Meresta dan Meresta, 1985).
Ekstrak etanolik propolis (EEP)
efektif melawan bakeri-bakteri
anaerobik. EEP menunjukkan efektivitas yang tinggi melawan
strain-strain bakteroid
dan
peptostreptococcus
dan sedikit kurang efektif melawan bakteri-bakteri Gram-positive dari
Propionibacterium (penyebab
jerawat), Arachnia dan
Eubacterium.Strain
dari Clostridium adalah yang paling kurang peka terhadap EEP (Kedzia,
1986).
Aktivitas antibakteri sudah
diteliti melawan banyak cocci yang sudah dikenal
dan Gram-positive rods
(bakteri berbentuk batang), selain kepada Mycobacterium tuberculosis,
tetapi hanya memiliki efektivitas terbatas melawan Gram-negative
bacilli (Grange dan Davey, 1990; Rojas Hermandez et al., 1993). Aga et
al. (1994) mengisolasi tiga senyawa anti bakteri dari propolis Brazil
dan mengidentifikasinya sebagai 3,5-diprenyl-4-hydroxycinnamic
acid,
3-prenyl-4-dihydroxy acid dan
2,2-dimethyl-6-carboxyethenyl-2H-1-benzopyran. Ketiganya menunjukkan
antivitas sebagai anti bakteri melawan Bacilus cereus,
Enterobacter erogenes
dan
Arthroderma benhamiae. Mereka menyatakan bahwa senyawa pertama
adalah yang paling efektif dan rupanya ini merupakan senyawa
antibakteri utama dari propolis Brazilia. Takasi et al., (1994)
menyatakan bawah propolis menghambat pertumbuhan bakteri dengan
mencegah pembelahan sel (proliferasi sel), sehingga menghasilkan
bentuk pseudo-multicellular streptococci. Selain itu propolis
menganggu organisasi sitoplasma, membran sitoplasma dan dinding sel,
menyebabkan bakteriolisis sebagian dan menghambat sintesis protein
dalam sel bakteri. Sudah dibuktikan bahwa mekanisme kerja propolis
dalam sel bakteri adalah
sangat kompleks dan analogi sederhana tidak dapat dibuat untuk
menggambarkan kerja itu dengan menggunaan mode kerja klasik
antibiotik. Kesimpulan ini didapat dari studi microcalorimetric
dan mikroskop elektronsumber : http://propbiyang.net/produk/produk14.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar